Opini Hukum

Permendikbud Ristek PPKS Nomor 30 Tahun 2021: Melegalkan Zina?

Written by Abraham Ritonga · 2 min read >
permendikbud ristek nomor 30 tahun 2021

Belakangan ini, maraknya kasus kekerasan seksual menjadi suatu fokus isu yang ramai dibicarakan, tidak mengenal batasan ruang dan waktu, perilaku seks yang menyimpang/tidak wajar atau kejahatan seksual dapat terjadi kapan dan dimana saja, tidak terkecuali dalam lingkungan pendidikan, dalam hal ini perguruan tinggi. Tentu saja penyimpangan ini tidak hanya mengganggu, tetapi juga dapat merenggut hak kebebasan seseorang untuk dapat merasa aman, nyaman, dan terlindungi harkat dan martabatnya. Lalu bagaimana langkah pemerintah untuk dapat mencegah serta mengatasi perilaku amoral tersebut? Apakah aturan hukum saat ini sudah dapat mengakomodasi hak-hak korban?

Selama ini kasus kekerasan seksual yang lebih sering terdengar oleh masyarakat merupakan kasus kekerasan yang terjadi dengan adanya suatu kontak atau kegiatan fisik (secara langsung), misalnya saja kekerasan dalam berumah tangga (KDRT). Akan tetapi, disisi lain kekerasan seksual secara verbal dan visual (verbal and visual harassment) masih menjadi suatu hal yang jarang terdengar kasusnya, tersembunyi, dan bahkan yang lebih parah hal tersebut masih dianggap lumrah. Sanksi hukum bagi pelaku masih belum jelas (samar) dan mirisnya korbanlah yang harus menanggung konsekuensi (seolah-olah ada suatu peralihan konsekuensi dan tanggung jawab moral dari pelaku kepada korban).

Saat ini peraturan hukum mengenai kekerasan dan kejahatan seksual seperti pasal 281 KUHP, pasal 289-296 KUHP, seringkali dianggap tidak efektif karena seperti yang disampaikan diatas, bahwa aturan hukumnya lebih cenderung menangani kejadian bukan mengantisipasi, juga lebih banyak membicarakan mengenai kejahatan seksual yang terjadi secara fisik. Oleh karena itu, belakangan ini (pada saat artikel ini dibuat) tengah digaungkan mengenai RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (PKS) yang masih dalam proses pengesahan oleh DPR. Untuk dapat mengakomodasi peristiwa kekerasan atau kejahatan seksual ini, Kementrian Pendidikan Riset dan Teknologi mengambil langkah untuk menerbitkan suatu aturan yang menjadi tugas pokok, fungsi, serta kewenangannya di lingkungan pendidikan.

Baca Juga: Cara Lapor Polisi Online Jika Butuh Bantuan

Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) telah menjadi suatu pedoman yang wajib dipatuhi dan dilaksanakan oleh Perguruan Tinggi. Permendikbud PPKS No 30 Tahun 2021 menjelaskan mengenai pengertian kekerasan seksual, kategori, pencegahan, penanganan, sanksi-sanksi, ,objek serta tujuan penerapan peraturan ini. Akan tetapi, tentu saja dibalik penerbitan dan pemberlakuan suatu peraturan tidak dapat terlepas dari dukungan atau penolakan (pro-kontra) yang timbul dari interpretasi dan penafsiran seseorang terhadap suatu fenomena hukum. Lalu apa yang sebenarnya menjadikan aturan ini masih dianggap kontrakdiktif? Hal ini karena adanya frasa yang berbunyi “tanpa persetujuan korban”.

Pasal 5
(1) Kekerasan Seksual mencakup tindakan yang dilakukan secara verbal, nonfisik, fisik, dan/atau melalui teknologi informasi dan komunikasi.
(2) Kekerasan Seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. menyampaikan ujaran yang mendiskriminasi atau melecehkan tampilan fisik, kondisi tubuh, dan/atau identitas gender Korban;
b. memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengaja tanpa persetujuan Korban;

Frasa “tanpa persetujuan Kobran” juga dapat ditemukan di dalam Pasal 5 ayat (2) huruf (f), huruf (g), huruf (h), huruf (l), huruf (m). Untuk dapat melihat lebih lengkap dapat mengunduh soft copy Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 melalui tautan link berikut ini:

Download: Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021

Lalu apakah dengan adanya frasa tersebut bertendensi untuk melegalisasi zina dalam lingkungan Perguruan Tinggi?

Opini penulis:
Bahwa tidak ada kencenderungan atau tendensi bahwa aturan Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 ini melegalkan zina atau memberikan ruang untuk kejahatan seksual. Justru sebaliknya, peraturan ini dapat memberikan suatu wadah yang baik bagi korban, memberikan rasa percaya diri terhadap korban untuk membela apa yang menjadi haknya (mempertahankan harkat dan martabat dirinya). Dalam aturan ini bahkan mewajibkan Pimpinan Perguruan Tinggi untuk dapat membentuk Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual.

Perlu juga menjadi perhatian bahwa “persetujuan korban” juga dapat menjadi batal atau tidak sah (merujuk pada pasal 5 ayat (3), jika:

  1. memiliki usia belum dewasa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
  2. mengalami situasi dimana pelaku mengancam, memaksa, dan/atau menyalahgunakan kedudukannya;
  3. mengalami kondisi di bawah pengaruh obat-obatan, alkohol, dan/atau narkoba;
  4. mengalami sakit, tidak sadar, atau tertidur;
  5. memiliki kondisi fisik dan/atau psikologis yang rentan;
  6. mengalami kelumpuhan sementara (tonic immobility); dan/atau
  7. mengalami kondisi terguncang.

Dengan adanya ayat (3) menjadi bukti pendukung bahwa aturan ini juga tidak serta-merta melegalisasi zina.

Lalu bagaimana jika memang subjek/pelaku sama-sama setuju untuk melakukan tindakan seksual?

Aturan ini tidak dapat menyalakan dan memvonis pelaku jika tindakan seksual yang dilakukan atas dasar sama-sama suka, setuju untuk melakukan, tidak unsur ada paksaan. Tidak ada unsur melawan hukum (sifatnya tidak ada pihak yang dirugikan atau merasa dirugikan) dan tentu jika demikian aturan hukum juga tidak dapat memasuki ranah privasi seseorang.

Disisi lain kita tidak dapat menutup mata bahwa pro-kontra yang terjadi terhadap peraturan ini akibat adanya unsur politisasi, kebudayaan, kepercayaan, serta corak paradigma masyarakat. Akan tetapi, kita perlu kembali mengingat bahwa aturan hukum bersifat umum (general), harus dapat mengkomodasi segala peristiwa jika objek penerapannya memiliki beragam latarbelakang.